Saturday, May 3, 2014

PENERAPAN IFRS DI INDONESIA

A.    Pembahasan
      Baskerville (2010) dalam Utami, et al. (2012)  mengungkapkan bahwa konvergensi dapat berarti harmonisasi atau standardisasi, namun harmonisasi dalam konteks akuntansi dipandang sebagai suatu proses meningkatkan kesesuaian praktik akuntansi dengan menetapkan batas tingkat keberagaman. Jika dikaitkan dengan IFRS maka konvergensi dapat diartikan sebagai proses menyesuaikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terhadap IFRS.
      Lembaga profesi akuntansi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan bahwa Indonesia melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012. Penerapan ini bertujuan agar daya informasi laporan keuangan dapat terus meningkat sehingga laporan keuangan dapat semakin mudah dipahami dan dapat dengan mudah digunakan baik bagi penyusun, auditor, maupun pembaca atau pengguna lain.
      Mengapa harus IFRS, ini dikarenakan Indonesia merupakan bagian dari IFAC (International Federation of Accountant) yang harus tunduk pada SMO (Statement Membership Obligation), salah satunya adalah dengan menggunakan IFRS sebagai accounting standard. Konvergensi IFRS adalah salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai anggota G20 forum.
      Hasil dari pertemuan pemimpin negara G20 forum di Washington DC, 15 November 2008, prinsip-prinsip G20 yang dicanangkan adalah:
1.      Strengthening Transparency and Accountability
2.      Enhancing Sound Regulation
3.      Promoting Integrity in Financial Markets
4.      Reinforcing International Cooperation
5.      Reforming International Financial Institutions

            Selanjutnya, pertemuan G20 di London, 2 April 2009 menghasilkan kesepakatan untuk Srengthening Financial Supervision and Regulation:
            “to call on the accounting standard setters to work urgently with supervisors and regulators to improve standards on valuation and provisioning and achieve a single set of high-quality global accounting standards.”
            Dengan dilakukannya konvergensi PSAK ke IFRS maka :
1.      Mengurangi peran dari badan otoritas dan panduan terbatas pada industri-industri spesifik.
2.      Pendekatan terbesar pada subtansi atas transaksi dan evaluasi dimana merefleksikan realitas ekonomi yang ada.
3.      Peningkatan daya banding laporan keuangan dan memberikan informasi yang berkualitas di pasar modal internasional.
4.      Menghilangkan hambatan arus modal internasional dengan mengurangi perbedaan dalam ketentuan pelaporan keuangan.
5.      Mengurangi biaya pelaporan keuangan bagi perusahaan multinasional dan biaya untuk analisis keuangan bagi para analis.
6.      Meningkatkan kualitas pelaporan keuangan menuju “best practise”.
                  Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:
1.      Tahap Adopsi (2008 – 2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku.
2.      Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
3.      Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.

            B.     Ruang Lingkup

      Dalam penerapan IFRS di beberapa perusahaan di Indonesia memiliki beberapa dampak baik negatif maupun positif. Dampak langsung dari penerapan IFRS pada pertamina adalah adanya suatu ketentuan-ketentuan baru dalam penyusunan laporan keuangan. Dampak tersebut antara lain:
1.      Memperkenalkan konsep“Other Comprehensive Income didalam labarugi komprehensif”
2.      Perubahan definisi-definisi akun-akun dalam laporan keuangan
3.      Pos Luar Biasa tidak lagi diperbolehkan.
4.      Perubahan nama“laporankeuangan” menjadi“statement of financial position”, “statement of comprehensive income, and “statement of other comprehensive income”.

      Oleh sebab itu dalam Pertamina sendiri ada beberapa isu untuk dikaji lebih dalam lagi sehingga diharapkan akan memperoleh pemecahan masalah. Dibawah ini beberapa isu akuntansi yang signifikan dengan pertamina, antara lain:

1.      Penerapan Akuntansi Aktiva Tetap (PSAK 16) tentang perlunya pengaturan informasi “Fair Value” dan “Residual Value”.
      Nilai wajar (fair value) adalah suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran aktiva atau penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham (knowledgeable) dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arm's length transaction).
      Nilai residu (residual value) adalah jumlah yag diperkirakan akan diperoleh entitas saat ini dari pelepasan asset, setelah dikurangi taksiran biaya pelepasan, jika asset tersebut telah mencapai umur dan kondisi yang diharapkan pada akhir umur manfaatnya.
      Di dalam PSAK 16 yang dimaksud dengan aset tetap adalah aset berwujud yang:
a)      Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang dan jasa untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
b)      Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.

Di dalam IAS 16, standar internasional memperbolehkan pengukuran aktiva tetap memakai fair value accounting ditahun berikutnya setelah aktiva di nilai berdasarkan nilai perolehannya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menerapkan fair value accounting dalam pencatatan PPE (Property, Plan, and Equipment) mulai tahun 2008 (asumsi bahwa PSAK 16 akan mulai efektif tahun 2008). Hal ini adalah perubahan yang cukup besar karena selama ini fair value accounting belum dapat diterapkan di Indonesia dan hanya bisa dilakukan jika ketentuan pemerintah mengijinkan.
     Sebelum adanya PSAK 16 Revisi 2007, semua perusahaan di Indonesia mencatat akuntansi untuk aset tetapnya dengan menggunakan model biaya historis. Pada dasarnya perlakuan awal untuk aset tetap yang disajikan pada harga wajarnya dengan menggunakan model revaluasian sesuai PSAK 16 revisi 2007 adalah sama dengan perlakuan awal dengan menggunakan model biaya. Perbedaan perlakuan terdapat pada saat pengukuran sesudah tanggal perolehan. Didalam model biaya historis pengukuran setelah perolehan dilakukan dengan menentukan nilai buku aset tetap. Di dalam perlakuan akuntansi dengan model revaluasi menurut PSAK 16 Revisi 2007, secara garis besar perlakuan tersebut sama. Titik utama perbedaannya terletak pada penentuan total nilai perolehan dari aset yang bersangkutan dan akumulasi depresiasi yang dimiiki.
     Di dalam akuntansi dengan model revaluasi, nilai perolehan dan akumulasi depresiasi dapat berubah. Perubahan tersebut adalah perubahan yang disebabkan karena adanya penilaian kembali aset tetap. Nilai perolehan aset yang dicatat di dalam neraca perusahaan akan berubah seiring dengan perubahan nilai wajar aset tetap yang diketahui dengan melakukan penilaian kembali. Akumulasi depresiasi sendiri akan mengikuti perubahan akibat penilaian kembali tersebut.
     Konsep fair value tidak hanya berlaku untuk menghitung nilai perolehan asset tetap tetapi juga untuk menghitung nilai residu asset tetap. Paragraf 54 PSAK 16 (Revisi 2007) menjelaskan bahwa nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus direview minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.
           
     (The residual value and the useful life of an asset shall be reviewed at least at each financial year-end and, if expectations differ from previous estimates, the change(s) shall be accounted for as a change in an accounting estimate in accordance with IAS 8 Accounting Policies, Changes in Accounting Estimates and Errors – IAS 16 Property, Plant and Equipment Par. 51)”

     Perubahan terhadap pengukuran aktiva tetap menggunakan fair value accounting menyebabkan perlunya perubahan terhadap sistem informasi yang digunakan dalam perusahaan. Dalam hal penerapan fair value accounting di Pertamina sebagai konvergensi IFRS, langkah awal yang dilakukan Pertamina adalah melakukan perubahan sistem informasi (business process reengineering) dari SAP (system analysis and program development) menjadi MySAP. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan sistem informasi yang dimiliki Pertamina saat ini yang berbasis PSAK dengan IFRS. Perubahan sistem informasi untuk menyesuaikan bisnis proses yang sesuai dengan IFRS ini memerlukan proses yang cukup panjang. Proses perubahan sistem informasi ini dimulai pada tahun 2010 dan diharapkan selesai 2011 sehingga dapat digunakan pada awal tahun 2012 sebagai sistem informasi yang yang mendukung bisnis proses yang sesuai dengan IFRS.

            C.    Kesimpulan

      Konvergensi IFRS menimbulkan banyak dampak dalam penyusunan laporan keuangan baik dalam nama laporan keuangan sampai pada konsep pengukuran akun-akun yang ada dalam laporan keuangan. Perubahan pengukuran menjadi pengukuran berbasis nilai wajar (fair value accounting) memerlukan pemahaman yang baik dari manajemen tentang konsep fair value accounting sehingga dapat memilih kebijakan akuntansi dan keputusan bisnis yang tepat. Dalam artikel ini perubahan pengukuran berbasis nilai wajar (fair value accounting) yang merupakan dampak dari konvergensi IFRS dilakukan perubahan pula terhadap sistem informasi (business process reengineering) yang berlangsung di Pertamina agar sesuai dan mendukung konvergensi terhadap IFRS.

Sumber :
http://galuhwardhani.wordpress.com/2012/04/18/alasan-perlunya-konvergensi-ke-ifrs/
http://seminarakuntansi.warsidi.com/2010/05/penerapan-ifrs-terhadap-pertamina.html