A. Pembahasan
Baskerville
(2010) dalam Utami, et al. (2012) mengungkapkan bahwa
konvergensi dapat berarti harmonisasi atau standardisasi, namun harmonisasi
dalam konteks akuntansi dipandang sebagai suatu proses meningkatkan kesesuaian
praktik akuntansi dengan menetapkan batas tingkat keberagaman. Jika dikaitkan
dengan IFRS maka konvergensi dapat diartikan sebagai proses menyesuaikan
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terhadap IFRS.
Lembaga
profesi akuntansi IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menetapkan bahwa Indonesia
melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012. Penerapan ini bertujuan agar
daya informasi laporan keuangan dapat terus meningkat sehingga laporan keuangan
dapat semakin mudah dipahami dan dapat dengan mudah digunakan baik bagi
penyusun, auditor, maupun pembaca atau pengguna lain.
Mengapa
harus IFRS, ini dikarenakan Indonesia merupakan bagian dari IFAC (International
Federation of Accountant) yang harus tunduk pada SMO (Statement
Membership Obligation), salah satunya adalah dengan menggunakan IFRS
sebagai accounting standard. Konvergensi IFRS adalah salah
satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai anggota G20 forum.
Hasil dari
pertemuan pemimpin negara G20 forum di Washington DC, 15 November 2008,
prinsip-prinsip G20 yang dicanangkan adalah:
1.
Strengthening
Transparency and Accountability
2.
Enhancing Sound
Regulation
3.
Promoting Integrity
in Financial Markets
4.
Reinforcing
International Cooperation
5.
Reforming International
Financial Institutions
Selanjutnya,
pertemuan G20 di London, 2 April 2009 menghasilkan kesepakatan untuk Srengthening
Financial Supervision and Regulation:
“to
call on the accounting standard setters to work urgently with supervisors and
regulators to improve standards on valuation and provisioning and achieve
a single set of high-quality global accounting standards.”
Dengan
dilakukannya konvergensi PSAK ke IFRS maka :
1. Mengurangi peran dari badan otoritas dan panduan
terbatas pada industri-industri spesifik.
2. Pendekatan terbesar pada subtansi atas transaksi dan
evaluasi dimana merefleksikan realitas ekonomi yang ada.
3. Peningkatan daya banding laporan keuangan dan
memberikan informasi yang berkualitas di pasar modal internasional.
4. Menghilangkan hambatan arus modal internasional dengan
mengurangi perbedaan dalam ketentuan pelaporan keuangan.
5. Mengurangi biaya pelaporan keuangan bagi perusahaan
multinasional dan biaya untuk analisis keuangan bagi para analis.
6. Meningkatkan kualitas pelaporan keuangan menuju “best
practise”.
Terdapat 3 tahapan dalam melakukan
konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:
1.
Tahap Adopsi (2008 –
2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan
infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang berlaku.
2.
Tahap Persiapan Akhir
(2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur
yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK
berbasis IFRS.
3.
Tahap Implementasi
(2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara bertahap.
Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.
B.
Ruang Lingkup
Dalam penerapan IFRS di beberapa perusahaan di Indonesia
memiliki beberapa dampak baik negatif maupun positif. Dampak langsung dari
penerapan IFRS pada pertamina adalah adanya suatu ketentuan-ketentuan baru
dalam penyusunan laporan keuangan. Dampak tersebut antara lain:
1.
Memperkenalkan konsep“Other Comprehensive Income didalam
labarugi komprehensif”
2.
Perubahan definisi-definisi akun-akun dalam laporan keuangan
3.
Pos Luar Biasa tidak lagi diperbolehkan.
4.
Perubahan nama“laporankeuangan” menjadi“statement of
financial position”, “statement of comprehensive income, and “statement of
other comprehensive income”.
Oleh sebab
itu dalam Pertamina sendiri ada beberapa isu untuk dikaji lebih dalam lagi
sehingga diharapkan akan memperoleh pemecahan masalah. Dibawah ini beberapa isu
akuntansi yang signifikan dengan pertamina, antara lain:
1.
Penerapan Akuntansi Aktiva Tetap (PSAK 16) tentang perlunya
pengaturan informasi “Fair Value” dan “Residual Value”.
Nilai
wajar (fair value) adalah suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran
aktiva atau penyelesaian kewajiban antara pihak yang paham (knowledgeable) dan
berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar (arm's length transaction).
Nilai residu (residual value) adalah jumlah yag diperkirakan akan diperoleh entitas saat ini dari pelepasan asset, setelah dikurangi taksiran biaya pelepasan, jika asset tersebut telah mencapai umur dan kondisi yang diharapkan pada akhir umur manfaatnya.
Nilai residu (residual value) adalah jumlah yag diperkirakan akan diperoleh entitas saat ini dari pelepasan asset, setelah dikurangi taksiran biaya pelepasan, jika asset tersebut telah mencapai umur dan kondisi yang diharapkan pada akhir umur manfaatnya.
Di
dalam PSAK 16 yang dimaksud dengan aset tetap adalah aset berwujud yang:
a)
Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan
barang dan jasa untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan
administratif; dan
b)
Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.
Di dalam IAS 16, standar
internasional memperbolehkan pengukuran aktiva tetap memakai fair value
accounting ditahun berikutnya setelah aktiva di nilai berdasarkan nilai
perolehannya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menerapkan fair value
accounting dalam pencatatan PPE (Property, Plan, and Equipment) mulai tahun
2008 (asumsi bahwa PSAK 16 akan mulai efektif tahun 2008). Hal ini adalah
perubahan yang cukup besar karena selama ini fair value accounting belum dapat
diterapkan di Indonesia dan hanya bisa dilakukan jika ketentuan pemerintah
mengijinkan.
Sebelum
adanya PSAK 16 Revisi 2007, semua perusahaan di Indonesia mencatat akuntansi
untuk aset tetapnya dengan menggunakan model biaya historis. Pada dasarnya
perlakuan awal untuk aset tetap yang disajikan pada harga wajarnya dengan
menggunakan model revaluasian sesuai PSAK 16 revisi 2007 adalah sama dengan
perlakuan awal dengan menggunakan model biaya. Perbedaan perlakuan terdapat
pada saat pengukuran sesudah tanggal perolehan. Didalam model biaya historis
pengukuran setelah perolehan dilakukan dengan menentukan nilai buku aset tetap.
Di dalam perlakuan akuntansi dengan model revaluasi menurut PSAK 16 Revisi
2007, secara garis besar perlakuan tersebut sama. Titik utama perbedaannya
terletak pada penentuan total nilai perolehan dari aset yang bersangkutan dan
akumulasi depresiasi yang dimiiki.
Di dalam akuntansi dengan model revaluasi, nilai perolehan dan akumulasi depresiasi dapat berubah. Perubahan tersebut adalah perubahan yang disebabkan karena adanya penilaian kembali aset tetap. Nilai perolehan aset yang dicatat di dalam neraca perusahaan akan berubah seiring dengan perubahan nilai wajar aset tetap yang diketahui dengan melakukan penilaian kembali. Akumulasi depresiasi sendiri akan mengikuti perubahan akibat penilaian kembali tersebut.
Di dalam akuntansi dengan model revaluasi, nilai perolehan dan akumulasi depresiasi dapat berubah. Perubahan tersebut adalah perubahan yang disebabkan karena adanya penilaian kembali aset tetap. Nilai perolehan aset yang dicatat di dalam neraca perusahaan akan berubah seiring dengan perubahan nilai wajar aset tetap yang diketahui dengan melakukan penilaian kembali. Akumulasi depresiasi sendiri akan mengikuti perubahan akibat penilaian kembali tersebut.
Konsep
fair value tidak hanya berlaku untuk menghitung nilai perolehan asset tetap
tetapi juga untuk menghitung nilai residu asset tetap. Paragraf 54 PSAK 16
(Revisi 2007) menjelaskan bahwa nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap
harus direview minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil
review berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus
diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25
tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar,
dan Perubahan Kebijakan Akuntansi.
“(The residual value and the useful life
of an asset shall be reviewed at least at each financial year-end and, if
expectations differ from previous estimates, the change(s) shall be accounted
for as a change in an accounting estimate in accordance with IAS 8 Accounting
Policies, Changes in Accounting Estimates and Errors – IAS 16 Property, Plant
and Equipment Par. 51)”
Perubahan terhadap pengukuran aktiva tetap menggunakan fair value accounting menyebabkan perlunya perubahan terhadap sistem informasi yang digunakan dalam perusahaan. Dalam hal penerapan fair value accounting di Pertamina sebagai konvergensi IFRS, langkah awal yang dilakukan Pertamina adalah melakukan perubahan sistem informasi (business process reengineering) dari SAP (system analysis and program development) menjadi MySAP. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan sistem informasi yang dimiliki Pertamina saat ini yang berbasis PSAK dengan IFRS. Perubahan sistem informasi untuk menyesuaikan bisnis proses yang sesuai dengan IFRS ini memerlukan proses yang cukup panjang. Proses perubahan sistem informasi ini dimulai pada tahun 2010 dan diharapkan selesai 2011 sehingga dapat digunakan pada awal tahun 2012 sebagai sistem informasi yang yang mendukung bisnis proses yang sesuai dengan IFRS.
Perubahan terhadap pengukuran aktiva tetap menggunakan fair value accounting menyebabkan perlunya perubahan terhadap sistem informasi yang digunakan dalam perusahaan. Dalam hal penerapan fair value accounting di Pertamina sebagai konvergensi IFRS, langkah awal yang dilakukan Pertamina adalah melakukan perubahan sistem informasi (business process reengineering) dari SAP (system analysis and program development) menjadi MySAP. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan sistem informasi yang dimiliki Pertamina saat ini yang berbasis PSAK dengan IFRS. Perubahan sistem informasi untuk menyesuaikan bisnis proses yang sesuai dengan IFRS ini memerlukan proses yang cukup panjang. Proses perubahan sistem informasi ini dimulai pada tahun 2010 dan diharapkan selesai 2011 sehingga dapat digunakan pada awal tahun 2012 sebagai sistem informasi yang yang mendukung bisnis proses yang sesuai dengan IFRS.
C. Kesimpulan
Konvergensi
IFRS menimbulkan banyak dampak dalam penyusunan laporan keuangan baik dalam
nama laporan keuangan sampai pada konsep pengukuran akun-akun yang ada dalam
laporan keuangan. Perubahan pengukuran menjadi pengukuran berbasis nilai wajar
(fair value accounting) memerlukan pemahaman yang baik dari manajemen tentang
konsep fair value accounting sehingga dapat memilih kebijakan akuntansi dan
keputusan bisnis yang tepat. Dalam artikel ini perubahan pengukuran berbasis
nilai wajar (fair value accounting) yang merupakan dampak dari konvergensi IFRS
dilakukan perubahan pula terhadap sistem informasi (business process
reengineering) yang berlangsung di Pertamina agar sesuai dan mendukung
konvergensi terhadap IFRS.
Sumber :
http://galuhwardhani.wordpress.com/2012/04/18/alasan-perlunya-konvergensi-ke-ifrs/
http://seminarakuntansi.warsidi.com/2010/05/penerapan-ifrs-terhadap-pertamina.html
No comments:
Post a Comment